Mahbub Djunaidi seorang penulis yang dikenal dengan julukan pendekar pena |
Pada
tanggal 27 Juli 1933 di Jakarta lahir seorang wartawan, esais, sastrawan, dan
politisi NU yang popular di zamannya, H Mahbub Djunaidi. Ia dikenal sebagai
pendekar pena yang tulisannya dikenal kreatif dengan menggabungkan politik,
sastra, dan jurnalistik.
Pada
bidang jurnalistik sebagai profesi, Mahbub Djunaidi adalah Ketua Umum
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat (1965-1970), dan Pimpinan Redaksi Duta
Masjarakat (1960-1970), Ketua Dewan Kehormatan PWI (1973-1973). Dalam bidang
politik, ia adalah anggota DPR GR (19671971), Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), anggota DPR/MPR RI (1971-1982). Sebagai seorang yang
meminati sastra, dan ia lebih suka disebut wartawan, Mahbub Djunaidi melahirkan
beberapa novel dan beberapa terjemahan.
Selain
itu, aktivitasnya juga diarahkan kepada organisasi massa NU. Sejak masih muda,
ia pernah menjadi anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Ketua Umum Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia, Wakil Sekjen PBNU (1970-1979), Ketua II PBNU
(1979-1984), Wakil Ketua PBNU (1984-1989), anggota Mustasyar U
(1989-1994), Pendidikan dasar Mahbub Djunaidi dijalani pada masa revolusi
fisik, di mana ia sekeluarga hijrah ke Solo dan baru kembali lagi ke Jakarta
ketika Solo diduduki Belanda pada 1948.
Di
Solo ini pula ia sempat bersekolah di Madrasah Mambaul Ulum yang sangat
terkenal kala itu. Ayahnya, KH Djunaidi adalah tokoh NU yang pernah menjadi
anggota Konstituante. Masa Kecil Kalau kita baca novelnya, Dari Hari ke Hari,
kita akan tahu bagaimana masa kecilnya, saat berusia 13 tahun. Ia turut
merasakan pahit getirnya revolusi Indonesia yang baru memproklamasikan
kemerdekaan. Ia ikut hijrah meninggalkan tanah kelahirannya, Tanah Abang, Jakarta.
Itu disebabkan ayahnya, KH Muhammad Djunaidi, seorang pegawai negeri. Oleh
jawatannya, disediakan rumah di Solo. Di situlah mereka mengungsi. Meski
situasi sangat sulit, anak itu tetap meneruskan sekolah SD. Bangunan sekolah
sama saja dengan rumah-rumah penduduk, yang membedakan keduanya hanyalah papan
nama.
Selain
di SD, ia harus belajar agama, di Madrasah Manbaul 'Ulum. Tapi justru di
madrasah itulah anak kecil mendapat banyak asupan buku dari salah seorang
gurunya, Kiai Amir. Di situlah --perlu penekanan di madrasah, bukan di
sekolah-- ia bergaul dengan buku-buku sejarah dan sastra. Tak hanya itu, ia
harus belajar nahwu dan sorof (gramatika bahasa Arab), juga menghapal kitab
Barzanji (biografi Nabi Muhammad). Dan ayahnya berencana mengirimnya ke
sebuah pesantren di Lasem. Karena situasi darurat, niat itu urung. Akhirnya
dibimbing secara ketat oleh ayahnya. Mahbub memang berasal dari keluarga yang
taat beragama. Neneknya, penceramah agama yang berkeliling dari satu majelis ke
majelis lain. Ayahnya, tokoh NU yang ketika zaman Jepang melarang seikerei
sampai 45 derajat.
Dari
hari ke hari, anak itu menyimak revolusi fisik dari tahun 1946-1949. Berbagai
peristiwa terjadi. Belanda datang lagi dibonceng tentara sekutu. Niat awal
mereka adalah melucuti tentara Jepang yang kalah perang. Tapi kenyataannya
mereka ingin berkuasa kembali. Perlawanan terjadi dimana-mana. TKR terus
bergerilya. Masyarakat sipil membentuk kesatuan laskar, misalnya Hizbullah yang
dipimpin KH Zainul Arifin, Sabilillah pimpinan KH Masykur.
Di
sisi lain, benaknya yang kecil, mulai tumbuh pertanyaan, kenapa situasi negeri
ini demikian sengsara. Kemakmuran, kesuburan, alih-alih jadi kesenangan, malah
berbuah kesengsaraan. Hasil bumi dikeruk ratusan tahun. Keringat rakyat diperas
kaya gombal yang sudah lama tak dicuci. Lalu setelah merdeka diraih, kenapa ada
perjanjian Linggarjati dan Renville? Apakah pemimpin republik ini tidak
belajar sejarah? Bukankah dari dulu Belanda pembual ulung? Pangeran Diponegoro,
Sultan Hasanuddin mengecap getirnya.
Pernah
Dipenjara Gara-gara Tulisan Menurut Ensiklopedia NU, karier wartawannya dimulai
ketika ia menjadi redaktur majalah sekolah, Pemuda Masyarakat, sambil mengetuai
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) ranting SMP ll di Jakarta, 1952. Ketika
bersekolah di SMA Budi Utomo, ia mulai muncul ke publik yang lebih luas.
Karyanya berupa cerpen, sajak, dan esai dimuat di majalah Siasat, Mimbar
Indonesia, Kisah, Roman, dan Star Weekly. “Hal yang menarik, minatnya
pada dunia tulis-menulis dan kesusastraan, justru ketika ia bersekolah di
Madrasah Manba'ul Ulum di Solo, ketika salah seorang gurunya, Kiai Amir, sering
memperkenalkannya pada karya-karya sastra dunia, seperti Mark Twain, Karl May,
Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain,” tulis Ensiklopedia NU.
Awal
karier Mahbub pada 1950-an sebenarnya adalah sastrawan. Tapi, status ini sempat
menghilang ketika ia lebih banyak sibuk sebagai wartawan dan aktivis partai.
Baru tahun 1975, namanya muncul Jagi ketika mengumumkan novelnya Dari Hari Ke
Hari (Pustaka Jaya, 1975). Novel ini berkisah tentang perang kemerdekaan dengan
tokoh utama seorang anak kecil. ”Anak kecil" dianggap sebagai metafora
dari Indonesia, yang masih muda dan baru merdeka. Novel ini menyabet
penghargaan dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975.
Akibat
tulisan-tulisannya yang penuh sindiran dan tajam, ia sempat ditahan pada tahun
1978. Di tahanan ini pula ia menyelesaikan terjemahan Road to Ramadan karya
Husein Heikal dan sebuah novel Maka Lakulah Sebuah Hotel. Tahun 1985 keluar
lagi satu novelnya, Angin Musim, yang diterbitkan oleh Inti Idayu Press. Novel
ini berisi suatu sindiran pada situasi sosial pada masa Orde Baru, ketika
korupsi melanda Indonesia tanpa ada yang bisa mencegahnya. Yang menarik dari
novel ini adalah tokohnya seekor kucing jalanan.
Dalam
sejarah sastra Indonesia, inilah satu-satunya karya sastra yang menggunakan
tokohnya seekor binatang. Menulis Sarat Humor Menurut Ensiklopedia NU, Mahbub
dikenang diantaranya karena esai-esainya yang khas dan penuh humor, yang muncul
di media-media terkemuka seperti Kompas dan Tempo. Esais Indonesia terkemuka,
Goenawan Mohammad, mengaku cemburu dengan gaya menulis Mahbub yang kocak, yang
bisa membuat orang tersenyum dan tertawa, meski yang dibicarakannya soal yang
serius sekali. “Mahbub mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan
kecakapan seorang mime yang setingkat Marcel Marceau. la menggerakkan kata-kata
dan kalimat dalam berbagai perumpamaan yang tidak pernah membosankan karena
selalu tak terduga. Esai-esainya adalah kritik sosial yang tajam, namun tidak
membuat orang yang dikritik menjadi marah.
Gaya
esainya yang renyah ini membuatnya sering dijuluki sebagai Art Buchwald-nya
Indonesia. Sementara gaya kocaknya itu membuatnya dikenal pula sebagai peIopor
”jurnalisme humor". Esai-esainya yang tetap menarik dibaca hingga kini itu
telah dikumpulkan dan dibukukan di antaranya Kolom Demi Kolom (1986), Humor
Jurnalistik (1986), dan Asal-Usul (1996),” tulis Ensiklopedia NU.
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmadi
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/121847/27-juli-lahir-mahbub-djunaidi--wartawan--sastrawan--politikus-nu
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmadi
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/121847/27-juli-lahir-mahbub-djunaidi--wartawan--sastrawan--politikus-nu