KH.HASYIM ASY'ARI |
KH.
Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul
Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul
Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin
Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang
populer dengan sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad
Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin
Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan
nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama
menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari
jalur ibu.
Ditilik
dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu
bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan
bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit
agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung
Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.
Kiai
Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa
kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah
tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah
utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan
salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.
Sejak
masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim
tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi
juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai
Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan
kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh
Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari
santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama
Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras
Jombang.
Pada
umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di
sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang
membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya
hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi
berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.
Pada
usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri
Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun
1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat
ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim
kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan
kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama
Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka.
Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat
terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan
kembali ke Indonesia setahun kemudian.
Setelah
lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli
dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan
sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri
kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah
meninggal.
Untuk
ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak
Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang
anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul
Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan
Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada
tahun 1920 M.
Sepeninggal
Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan
yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan
keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah,
Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan
perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.
Riwayat
Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari
Kiai
Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk
mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren
terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan
waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah).
Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar
secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari
ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”
Karena
berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan
dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang
cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu
ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith,
Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya,
kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai
Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya
membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.
Belum
puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai
menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren
Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa
belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren
Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan
(Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai
Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang
diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi
membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim
mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh
dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai
Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie dan Hadith.
Atas
nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru
pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali
kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid
Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id
al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid
Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana,
Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah,
Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi
yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba
pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan
Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan
Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh
signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.
Presatasi
belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh
kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram.
Beberapa
ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di
antaranya ialah Syaikh Sa’d Allah al-Maymani (mufti di Bombay, India),
Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah
(Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi
(Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH.
Saleh (Tayu).
Seperti
disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari
Syaikh Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang
di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai
Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran
kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim berbeda
dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai
Hasyim) ini sangat menarik.
Sejak
masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan
tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah
tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya
(Syaikh Mahfuz).
Karya-Karya
KH. Hasyim Asy’ari
Adapun
di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi
kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang
antara lain:
1. At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa
al-Aqarib wa al-Ikhwan
Kitab
ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan
oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi
penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta
memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau
silatuhrami.
2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul
Ulama
Kitab
ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam
kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang
menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab
tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah
al-Arba’ah
Dalam
kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam
madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad
bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara
keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.
4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat
Nahdlatul Ulama
Sebagaimana
judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat
dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari
terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang
prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.
5. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih
al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi
Pada
dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab
al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim
al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin
az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa
al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari
kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa
besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.
6. Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta
wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah
Karya
KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang
relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas
tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak
langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul
di kemudian hari. Terutama saat ini.
Dalam
beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa
besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa
mendalamnya pengetahuannya di bidang tersebut. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari
itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama
sam mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan
tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti
halnya NU.
Sumber
berita Link :